Senin, 24 Mei 2010

ANEMIA

ANEMIA
ANEMIA ATAU KURANG DARAH

Anemia = Kelangkaan hemoglobin atau sel darah merah

Kita tentu familiar dengan kondisi krisis sembako, BBM atau langkanya suatu produk pabrik, semisal pupuk. Anemia adalah kondisi kurangnya hemoglobin biasa disingkat dengan Hb atau sel darah merah atau dengan kata lain jumah sel darah merah atau kadar Hb kurang dari normal. Angka normal Hb bervariasi menurut umur, namun umumnya menurut WHO, seorang anak yang berusia kurang dari 6 tahun dikatakan menderita anemia jika kadar Hbnya kurang dari 11 g/dL dan pada anak berusia lebih dari 6 tahun dikatakan menderita anemia jika kadar Hbnya kurang dari 12 g/dL. Pada bayi muda dan pada orang dewasa batasan anemia dipengaruhi oleh umur dan kondisi-kondisi yang terkait, misalnya bayi baru lahir, bayi lahir cukup bulan atau kurang bulan dan pada orang dewasa misalnya ada tidaknya kehamilan.
Dapat dibayangkan, bahwa anemia, jika dianalogikan dengan kelangkaan suatu produk di masyarakat, dapat terjadi karena sedikitnya produksi atau karena kehilangan yang berlebihan ataua karena kerusakan sebelum waktunya atau bias juga karena semua factor tersebut. Jadi, gangguan pada produksi sel darah merah atau hemoglobin dan adanya kehilangan atau kerusakan sel darah merah atau hemoglobin yang berlebihan akan menyebabkan anemia.

Anemia akibat kurangnya produksi hemoglobin atau sel darah merah

Kurangnya produksi Hb atau sel darah merah dapat terjadi karena kekurangan bahan bakunya atau adanya masalah pada “pabrik”nya. Bahan produksi hemoglobin yang sudah banyak dikenal adalah zat besi, sedangkan bahan lainnya adalah asam folat dan vitamin B12. Defisiensi atau kurang tersedianya bahan-bahan tersebut akan menyebabkan terjadinya anemia, yang dikenal dengan nama anemia defisiensi. Anemia defisiensi yang paling dikenal dan paling banyak terjadi adalah anemia defisiensi besi atau ADEBE. Defisiensi zat besi dapat terjadi karena kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi (hati,daging,ikan) atau karena adanya gangguan penyerapan zat besi akibat adanya masalah pada usus, misalnya karena penyakit tertentu atau karena kebiasaan minum teh menjelang atau sesudah makan.
Kurangnya produksi hemoglobin juga dapat disebabkan oleh kurangnya bahan bakar, dalam hal ini zat yang disebut eritropoietin, seperti yang terjadi pada pasien yang mengalami gagal ginjal kronik atau anak yang menderita penyakit kronis. Kurang tersedianya eriropoietin akan menyebabkan terjadinya anemia. Jika kurangnya eritropoietin ini bersifat menetap, seperti yang terjadi pada anak dengan gagal ginjal kronis, maka kebutuhan zat itu hanya akan dapat dipenuhi dengan pemberian zat dari luar tubuh, yakni melalui suntikan secara rutin.
Masalah lain yang berhubungan dengan kegagalan produksi hemoglobin atau sel darah merah adalah kerusakan pada pabriknya, seperti yang terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada dua keadaan yang terakhir tersebut anemia disertai dengan sedikitnya jumlah trombosit (disebut trombositopenia) dan sedikitnya jumlah sel darah putih (disebut leukopenia). Trombositopenia sering menyebabkan perdarahan spontan, sedangkan leukopenia berhubungan dengan seringnya anak terkena infeksi (sering demam).

Anemia akibat kerusakan sel darah merah

Semua hal yang telah didiskusikan di bagian depan adalah penyebab anemia yang berhubungan dengan sedikitnya produksi hemoglobin atau sel darah merah. Penyebab lain terjadinya anemia adalah meningkatnya kerusakan sel darah merah atau hemoglobin sebelum waktunya. Umur sel darah merah umumnya adalah 120 hari, namun kerusakan sel darah merah sebelum waktunya (biasa disebut dengan hemolisis) dapat terjadi karena kondisi sel darah merah yang tidak ideal (jadi karena faktor selnya) atau karena kondisi lingkungan sel darah merah yang tidak mendukung bertahannya sel darah merah sesuai umurnya.
Faktor sel darah merah yang menyebabkan mudahnya sel darah merah mengalami hemolisis (pecah) adalah karena kelainan bentuk sel (bentuk sel darah merah tidak normal, misalnya pada sferositosis), sehingga jika melewati pembuluh darah tertentu akan mudah pecah, atau karena kelainan pada struktur hemoglobinnya, seperti pada penyakit talasemia, atau karena kurangnya enzim tertentu pada dinding sel darah merah, sehingga dinding sel darah merah mudah rusak jika bertemu dengan zat tertentu. Contoh untuk hal terakhir adalah terjadinya hemolisis pada anak yang dinding sel darah merahnya kurang mengandung enzim G6PD akibat makan tempe koro atau karena minum obat tertentu.
Pecahnya sel darah merah (hemolisis) juga dapat terjadi karena factor lingkungan sel darah merah yang tidak kondusif, misalnya terlalu asam, seperti pada anak yang mengalami gangguan asam basa tubuh yang disebut asidosis, yang dapat terjadi pada anak dengan dehidrasi berat. Hemolisis juga dapat terjadi akibat adanya penyakit autoimun, yakni adanya kesalahan pengenalan sel darah merah yang dianggap sebagai zat asing (antigen), sehingga dihancurkan oleh sistem tubuh (antibodi). Anemia yang terjadi pada kondisi terakhir, disebut dengan autoimmune hemolytic anemia (AIHA).

Anemia karena kehilangan darah

Anemia juga dapat terjadi akibat kehilangan darah, baik yang bersifat mendadak dalam jumlah besar atau sedikit-sedikit tetapi berjalan terus menerus (kronis). Contoh perdarahan kronis adalah pada kasus kecacingan,

Anemia bukan penyakit tapi gejala penyakit

Jadi, dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa anemia sebenarnya bukan nama penyakit, tetapi gejala penyakit. Maksudnya, seorang anak yang mengalami anemia atau kurang darah harus ditentukan apa sebenarnya penyakit yang menyebabkan terjadinya anemia tersebut.

Anemia tidak sama dengan darah rendah

Anemia sering dirancukan pengertiannya dengan tekanan darah rendah. Sebenarnya kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda. Anak yang mengalami anemia tidak selalu mempunyai tekanan darah rendah, bahkan pada gagal ginjal kronis, anemia akan bersamaan dengan tekanan darah tinggi.

Gejala-gejala anemia

Anak yang mengalami anemia atau kurang darah biasanya akan mengeluhkan kelemahan tubuh, mudah lelah, pening dan tampak pucat. Anak yang sudah besar biasanya juga akan mengeluh bahwa bahwa dadanya berdebar-debar. Anak yang tampak kurang bergairah atau prestasi belajar menurun juga harus diwaspadai kemungkinan anemia, selain kemungkinan lainnya.
Apabila anemia terjadi secara tiba-tiba, anak akan tampak sesak napas dan mungkin akan disertai gejala-gejala gagal jantung. Sebaliknya, apabila anemia terjadi perlahan-lahan (bersifat kronis), maka biasanya tubuh dapat melakukan mekanisme kompensasi tertentu, sehingga gejala gagal jantung tidak timbul.

Bagaimana dokter mendiagnosis anemia?

Beberapa gejala yang bersifat khas akan sangat membantu dokter dalam menegakkan diagnosis anemia, termasuk dalam menentukan penyebabnya. Kebiasaan makanan yang aneh, misalnya mengarahkan pada kemungkinan diagnosis anemia defisiensi besi (ADEBE). Terjadinya perdarahan atau demam yang berulang yang menyertai anemia akan menyebabkan kecurigaan ke arah anemia aplastik atau anemia akibat leukemia. Adanya kekuningan pada kulit menunjukkan adanya hemolisis (pecahnya sel darah merah) yang terjadi secara cepat dan sebagainya. Oleh karena itu keluarga pasien perlu memberikan jawaban yang jelas mengenai gejala-gejala anemia yang ditanyakan dokter.
Perjalanan penyakit juga sangat membantu dalm penegakan diagnosis. Anemia yang terjadi secara akut (tiba-tiba) akan berbeda dengan anemia yang terjadi secara perlahan-lahan (kronis). Seorang anak yang biasanya baik-baik saja dan tiba-tiba mengalami anemia sangat mungkin disebabkan oleh proses hemolisis (pecahnya sel darah merah). Adanya riwayat nutris yang tidak baik mengindikasikan kemungkinan anemia defisiensi dan sebagainya.
Selanjutnya berdasarkan riwayat penyakit yang jelas, dokter akan melakukan pemeriksaan darah, dimulai dengan pemeriksaan yang sederhana, yakni hitung darah lengkap yang dapat dilakukan di Puskesmas atau rumah sakit kecil di manapun. Pemeriksaan morfologi darah tepi akan berguna untuk menentukan bentuk sel darah merah dan sel darah putih, yang akan sangat membantu dokter menentukan penyebab anemia. Apabila dokter menemukan sel darah merah yang kecil dan tampak pucat, misalnya, maka penyebab anemianya cenderung karena defisiensi besi. Pemeriksaan ini sederhana dan hanya memerlukan darah dalam jumlah yang sangat sedikit, serta hasilnya dapat diperoleh dalam waktu yang cepat. Bila diperlukan, dokter akan melakukan pemeriksaan tambahan, misalnya status besi atau bahkan pemeriksaan sel-sel dari apusan sumsum tulang (bone marrow). Dokter akan selalu melibatkan keluarga pasien dalam pengambilan keputusan untuk melakukan berbagai pemeriksaan tersebut.

ADEBE, anemia yang paling banyak dijumpai

Anemia defisiensi besi (ADEBE) adalah anemia yang paling banyak dijumpai pada anak-anak. ADEBE mudah terjadi pada bayi yang lahir kurang bulan (prematur), karena cadangan besi bayi tersebut belum mencukupi ketika bayi terlahir sebelum usia kehamilan yang cukup. ADEBE juga mudah terjadi pada masa pertumbuhan, apabila peningkatan kebutuhan zat besi tidak diimbangi dengan asupan zat besi yang cukup. Karenanya, sangat beralasan Ikatan Dokter Anak Indonesia merekomendasikan pemberian suplemen zat besi pada bayi Indonesia untuk mencegah terjadinya ADEBE. Suplemen besi dianjurkan untuk diberikan mulai umur 4 bulan pada bayi yang lahir cukup bulan dan dimulai pada umur 2 bulan pada bayi yang lahir kurang bulan sampai dengan bayi trampil untuk mengkonsumsi daging, hati atau ikan laut sebagai sumber zat besi alamiah.
Kita perlu mewaspadai adanya ADEBE jika anak tampak lesu, kurang bersemangat, prestasi belajar kurang atau anak mengalami penurunan prestasi sekolah. Kebiasaan makan yang tidak lazim juga seringkali tampak pada anak dengan ADEBE, misalnya menggigit-gigit kertas atau pensil, pecahan genting atau makan beras dan sebagainya, yang dalam dunia kedokteran dikenal dengan nama pica.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar